Pada abad ke 16, Arya Penangsang, musuh Kesultanan Pajang (sekarang Jawa Tengah), berhasil dikalahkan oleh Ki Ageng Pemanahan. Tidak ada yang menyangka bahwa peristiwa tersebut akan menjadi signifikan bagi keberadaan Desa Tembi. Arya Penangsang mempersembahkan Alas Mentaok (Alas berarti “hutan”) sebagai penghormatan kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1558.

Menurut sejarah kuno Jawa, Alas Mentaok dulunya adalah kerajaan Mataram Hindu Budha kuno (Mataram Kuno), yang jatuh. Kejatuhan kerajaan Mataram Kuno ini disebabkan oleh dua peristiwa: letusan Merapi yang menghancurkan dan mengubur sebagian besar candi kerajaan, dan krisis ekonomi-politik antara 927-929 SM. Ki Ageng Pemanahan mengubah wajah Alas Mentaok. Dia membersihkan hutan Mentaok dan membangun sebuah desa, Kotagede (berarti “kota baru”), yang dimulai sebagai pusat kecil tempat tinggal keluarga dan kerabatnya pada tahun 1577.

Ki Ageng Pemanahan adalah pendiri desa kecil ini dan telah membangun Kotagede selama 7 tahun sebelum meninggal dan digantikan oleh putranya, Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Senapati, yang akhirnya menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Baru (sekarang dikenal sebagai Kesultanan Yogyakarta). Setelah Sutawijaya wafat pada 1606, putranya yakni Mas Jolang melanjutkan takhta ayahnya sebagai raja Kerajaan Mataram Baru. Ia memperkuat pasukan kerajaan untuk memperluas wilayah kerajaan.

Setelah 12 tahun berkuasa dan penaklukan Ponorogo, Kediri, Kertosono dan Wirosobo, Mas Jolang meninggal dalam pertempuran terakhirnya di Krapyak pada tahun 1613. Putranya Pangeran Arya Martapura menggantikannya untuk sementara, tetapi karena kesehatan yang buruk, sebelum wafat ia memberikan takhta kepada putranya, Raden Mas Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Senapati Ingalaga. Menjelang akhir masa pemerintahan Sultan Agung, politik kerajaan menjadi tidak stabil. Sultan Agung sendiri adalah seorang pemimpin yang sangat bijak, tetapi banyak orang di kerajaan dan di keluarganya memiliki kepentingan politik yang bertentangan, karena campur tangan pemerintah Belanda melalui kemitraan dagangnya V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie, Perusahaan Hindia Timur Belanda). Situasi politik semakin kritis dalam keluarga kerajaan-kerajaan Mataram Baru.

Pertempuran mengakibatkan lingkungan yang beracun bagi penduduk kerajaan, terutama bagi anak-anak dan remaja untuk hidup dan belajar di tahun-tahun awal mereka. Oleh karena itu, keluarga kerajaan memutuskan untuk mengirim anak-anak dan remaja mereka untuk tinggal jauh dari istana dalam suasana yang aman, netral, dan sehat untuk melanjutkan pendidikan dan pengembangan diri.

Tembi dipilih sebagai lokasi keluarga kerajaan muda menghabiskan sebagian besar hari mereka. Pasangan Kyai dan Nyai Tembini, adalah pendiri padepokan belajar ini, yang dikenal dengan Dalem Katemben. Kyai dan Nyai Tembini menjadi guru serta pembimbing semua anak keluarga kerajaan. Anak-anak belajar seni bela diri, musik tradisional, dan bentuk seni tradisional lainnya. Mereka mengajarkan filosofi, sejarah, dan pengembangan karakter. Oleh bimbingan Kyai dan Nyai Tembini, para pemuda Kerajaan Mataram Baru dibesarkan menjadi pribadi yang kuat, rendah hati, toleran, dan memperhatikan kebutuhan orang lain berdasarkan ajaran nenek moyang Jawa mereka.

Menarik perjalanan waktu dan kembali ke masa kini, saat ini kita bisa berkeliling desa Tembi dan menikmati nuansa asli khas pedesaan Jawa. Anda dapat mengunjungi sisa sejarah dari kejayaan Padepokan Tembi berupa sebuah makam di bawah pohon beringin keramat, tempat Kyai Tembini dan Nyai Tembini terlihat terakhir kali. Di sanalah salah satu murid tercinta beliau berdua yakni Pangeran Diposono dimakamkan. Meski kini Dalem Katemben tidak lagi ada, serta jejak peninggalan kelembagaan tradisional yang menyertainya tidak lagi dapat ditemukan, Desa Tembi tetap istimewa, sebab warisan budaya dan laku Jawa yang dahulu selalu diajarkan oleh Kyai dan Nyai Tembini yang sarat arti telah menyatu dalam kehidupan warga sehari-hari.